Silahkan saja kita memilih sikap: mau memecah belah seperti sikap orang kafir, ataukah mengedepankan persaudaraan (kepada siapapun tanpa pandang bulu!) seperti para Nabi?
Tentu saja sikap ini bakal banyak kita temukan dalam sejarah hidup Rasulullah SAW. Beliau selalu mengedepankan dan memilih opsi perdamaian dalam ajakannya menuju kebenaran. Salah satunya, ketika sebelum diteken Perjanjian Damai Hudaibiyyah, Rasulullah SAW bersabda, “Demi Dzat yang diriku dalam kekuasaan-Nya, aku pasti akan memberi persetujuan pada rencana mereka (jika memang) memuliakan hal-hal yang dimuliakan Allah.”
Kita semua tentu tahu, apa poin yang diajukan oleh Kaum Kafir Quraisy? Yakni, genjatan senjata selama 10 tahun, kaum muslimin diizinkan masuk Makkah tahun depan, dan jika ada orang muslim kembali ke kaum kafir (murtad), maka ia tidak dikembalikan pada Rasulullah, dan jika ada orang kafir datang kepada Rasulullah (untuk menjadi muslim), maka ia dikembalikan kepada kaum kafir, dan membolehkan dan mengakui siapapun yang ingin bersekutu dengan salah satu kubu, dan tidak boleh saling mengganggu dan menyerang kabilah yang sudah bersekutu dengan mereka. Dan Rasulullah menyetujui semua itu!
Ya, Rasulullah menyetujui, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai perdamaian, secara langsung ataupun tidak langsung dan perdamaian adalah hal yang dimuliakan oleh Allah. Dan hal ini bukanlah hal baru karena saat masuk Madinah, Rasulullah pun mengedepankan perdamaian dalam surat perjanjian bersama antara Muslimin, penduduk Madinah yang musyrik, dan kaum Yahudi, “bahwa mereka adalah satu tangan.” Dan mereka sepakat untuk saling membantu dan melindungi, serta menjaga kedamaian bersama, apapun perbedaannya. Beginilah sikap Rasulullah SAW!
Akan tetapi, mungkin ada yang protes, “seharusnya kita siap menghadapi apapun efek yang muncul demi meneriakkan kebenaran, bahkan revolusi sekalipun!”
Sebuah kekuatan niat yang baik tentunya. Tapi, ini berbeda dengan sikap Nabi Musa a.s ketika beliau marah kepada saudaranya, Nabi Harun a.s, yang lebih memilih ‘membiarkan’ Bani Israil melenceng menyembah patung sapi. Saat itu, Nabi Musa marah besar hingga menjambak jenggot Nabi Harun karena melihat kesesatan kaumnya, “qala ya Harunu ma mana’aka idz ra-aitahum dhalluu, alla tattabi’ani, afa’ashaita amri?; Musa berkata, wahai Harun, apa yang mengahalangimu ketika melihat mereka sesat, (sehingga) kamu tak mengikutiku, maka apakah kamu (sengaja) mendurhakaiku?”
Nabi Harun pun menjelaskan, “inni khasyitu an taqula farraqta baina Bani Israila walam tarqub qaulii; sesungguhnya aku khawatir jika kamu akan berkata (kepadaku): Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku”. Ya, ditengah dakwahnya menyeru kebenaran, Nabi Harun lebih memilih menjaga perdamaian dan persatuan Bani Israil.
Setelah itu, Nabi Musa pun tersadar, dan berkata (di surat lainnya), “Rabbi-gh-fir lii wa li akhii, wa-adkhilna fi rahmatika; Rabbi, maafilah aku dan saudaraku, dan masukkanlah kami kedalam rahmat-Mu.” Karena kemarahan beliau sebelumnya tanpa mengetahui fakta, dan beliau beristighfar usai mengetahuinya.
Setelahnya, beliau pun kembali berdakwah kepada Bani Israil lagi, meski harus mulai dari nol lagi. Dan tentu saja, dengan tetap mengedepankan kedamaian disamping menyampaikan kebenaran, bukan memaksakannya. Atau malah mengajak orang sepemikiran atau atas nama umum untuk menyerang dan menghukum. Sikap seperti inilah yang harus kita miliki. Jangan bersikap seperti Kaum Munafik yang selalu mencari muka pada orang yang sebenarnya dibenci, hanya untuk memiliki massa: ketika tak berkepentingan mati-matian menghujat dan mencela, dan ketika berkepentingan, merasa sepemikiran, senasib dan setujuan. Karena sikap seperti itulah yang selalu mengantarkan kepada perpecahan.
Mari kita meniru para Nabi, meniru Rasulullah SAW. Mengedepankan perdamaian, ditengah menebar kebenaran. Wallahu a’lam.
Ahmad Aly Imron Muhammad
@bangmiqo
Lembaga Amil Zakat dan Infaq Al-Ma'un Sadar Berbagi …