IHSAN
Untuk anak laki-laki, dua ekor kambing. Untuk anak perempuan, cukup seekor kambing saja. Begitulah aqiqah yang dianjurkan ketika anak manusia lahir.
Si Hasan, sebut saja begitu, sangat bersemangat mengkritik anjuran tersebut. Dengan aqiqah 2 ekor kambing, katanya, anak laki-laki lebih dihargai dari pada anak perempuan yang diaqiqahi hanya dengan seekor kambing. Perlakuan lebih terhadap anak laki-laki ini merupakan cerminan ketidak adilan gender pada budaya Arab jahiliyah yang masih tersisa dalam Islam. Islam sebenarnya hadir untuk mengubah struktur yang tidak adil ini secara gradual namun pasti.
Karena pendapat Si Hasan, kampung pun menjadi gaduh. Hasan dicap sebagai sesat dan kafir.Tapi tampaknya Si Hasan sangat menikmati vonis itu. “Itulah risiko yang harus dihadapi oleh para pendobrak dan pencerah,” kata Hasan dalam hati.
Si Husein, sebut saja begitu, berkebalikan dengan Si Hasan. Si Husein berpendapat bahwa Islam itu telah sempurna 14 abad yang lalu, tidak boleh ditambah-tambahi, atau diubah-ubah untuk memenuhi tuntutan jaman, atau apalagi hanya untuk memenuhi hawa nafsu. Semua itu adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat. Dan kesesatan tempatnya pasti di neraka. Kalau aturan aqiqah seperti itu, ya laksanakan saja. Jangan diubah atau dimodifikasi.
Si Ihsan, lain lagi sikapnya. Orangnya tenang, tidak banyak bicara. Sewaktu lahir anak pertamanya yang laki-laki, ia menyembelih dua ekor kambing sebagai aqiqah. Orang-orang pun menilai Ihsan sebagai orang yang taat menjalankan anjuran Nabi. Tetapi, saat lahir anak kedua, perempuan, ia juga menyembelih dua ekor kambing. Orang-orang pun bertanya, “Mengapa Si Ihsan beraqiqah dengan cara yang berbeda? Apa itu tidak melanggar aturan?” Dengan tenang Si Ihsan menjawab, “Saya sangat bersyukur dianugerahi anak perempuan, sama bersyukurnya dengan ketika dianugerahi anak laki-laki. Rasa syukur yang sama kuatnya itu saya wujudkan dengan menyembelih dua ekor kambing, baik untuk anak laki-laki ataupun anak perempuan”.