Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia? (2)
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Peradaban seringkali diukur dengan kehebatan teknologi, keagungan arsitektural, ketinggian hasil-hasil karya seni dan sastra, serta sumbangannya kepada ilmu pengetahuan. Secara kolektif unsur-unsur peradaban itu sering dimanifestasikan dalam bentuk negara-negara berkebudayaan tinggi dan berkehidupan serba makmur, di mana pengetahuan dan perekonomian mengalami perkembangan yang relatif sejajar. Athena, Roma, Konstantinopel, Carthago, Sevilla, Baghdad, Peking, Delhi, Memphis, Ctesiphon, Cairo dan banyak lagi “kota dunia” masa lampau dijadikan contoh ketinggian peradaban. Islam boleh berbangga dengan konstribusinya yang cukup banyak dalam deretan manifestasi tersebut yang secara simbolik digambarkan oleh kegemilangan “Hikayat Seribu Satu Malam.”
Festival Islam sedunia yang pernah digelar di London dimaksudkan sebagai semacam stock opnamme bagi tanda-tanda kebesaran peradaban Islam. Baik tanda-tanda kebesaran lahiriah, seperti hasil-hasil teknologi dan kesenian masa lalu yang memukau mata dan hati, maupun tanda-tanda kebesaran rohaniah seperti buku-buku teks yang menggambarkan sumbangan Islam kepada ilmu pengetahuan (dari logaritmanya al-Khawarizmi[8], hingga traktat filsafat Ibnu Taufail[9] yang berjudul Hayy ibn Yaqzân yang didakwakan sebagai prototipe filsafat naturalismenya Defoe[10] dalam Robinson Crusoe), kesemuanya itu merupakan kenangan-kenangan indah, akan ketinggian peradaban masa lalu Islam.
Kita lalu dihadapkan pada pertanyaan mampukah kaum muslimin masa kini dan masa datang melakukan hal seperti itu? Kalau tidak, lalu darimana datangnya keyakinan bahwa Islam akan memunculkan kembali sebuah peradaban dunia? Jawaban pada pertanyaan di atas membawa kita kepada sebuah pendekatan yang berbeda dari hanya memunculkan sejumlah manifestasi ketinggian baru sama sekali. Di sinilah kita menemukan bahwa sudah jelas kaum muslimin itu tertinggal dari orang lain dalam hal kemampuan melakukan penemuan penemuan ilmiah yang baru. Tetapi mengapakah mereka tidak mampu merumuskan kembali arti, hikmah ilmu dan pengetahuan bagi kehidupan, bagaimana mengendalikan kedua-duanya yang justru untuk kepentingan melestarikan kehidupan umat manusia di muka bumi ini, bukannya untuk kepentingan segelintir pemilik modal dan sejumlah penguasa serakah atas kerugian kebanyakan manusia?
Jelas kaum muslimin tidak dituntut untuk mewariskan bagi generasi masa yang akan datang berupa peninggalan arsitektural yang megah dan mengesankan (bukankah masjid Istiqlal sendiri lalu kehilangan relevansi bila dihadapkan kepada kebodohan dan kemiskinan yang melanda bangsa?). Tetapi bukankah apa yang dilakukan Hassan Fathi[11] dengan konsep Gurnah–[12]nya di Mesir adalah penafsiran orisinal dan penggali kembali arti arsitektur bagi kehidupan bangsa yang sedang dilanda kemiskinan dan didera ledakan penduduk, yang pada analisis terakhir adalah pelestarian warisan peradaban lama dalam arti sesungguhnya? Bukankah sarah arsitektur Islam dapat digali kembali untuk mengembangkan pola tata kota modern yang berpusat pada desentralisasi fungsi perdagangan dalam sebuah pemusatan kegiatan di sebuah kompleks pasar atau pertokoan, apabila kita mampu membandingkan sejarah kreatif konsep pusat pertokoan masa kini dan konsep súq/khanah dari masa lalu Islam? Bukankah konsep súq(pasar) dengan kebulatan dan paguyuban bazari-nya yang justru mampu menjadi tulang punggung bagi koreksi total Khomeini di Iran?