“Nah, itu. Rasa syukur yang sama itu baik sekali. Tapi apaya harus dengan melanggar ketentuan yang telah digariskan?” sergap orang yang mempertanyakan sikap Si Ihsan.
“Ooo, itu tho masalahnya. Aturan mana yang saya langgar? Saya menyembelih dua ekor kambing, satu ekor untuk aqiqah dan satu ekor untuk sedekah. Apakah sedekah barang halal dengan cara halal dilarang? Atau apakah ada larangan sedekah dan aqiqah dalam waktu bersamaan? Lagian mana cukup menyembelih satu ekor kambing untuk orang sekampung ini?” Jawab Ihsan dengan tenang.
***
Zakat adalah sedekah wajib dengan aturan-aturan yang telah ditentukan. Apa saja yang harus dizakati, batas minimalnya berapa, jumlah yang harus dibayarkan berapa, kapan dibayarkan, dan kepada siapa saja diberikan sudah ada aturannya. Sebagaimana biasa, tentu ada perbedaan pendapat ulama’ dalam hal ini. Misalnya saja, apakah gaji pegawai yang diterima bulanan harus dizakati?
Si Husein, sebut saja begitu, adalah seorang eksekutif muda bergaji puluhan juta rupiah tiap bulannya. Ia mengikuti pendapat bahwa gaji tidak perlu dizakati. Pilihan pendapat ini sungguh amat syar’i, didasari Al-Qur’an dan Sunnah juga. Tetapi sesungguhnya yang paling mendasari adalah karakternya Si Husen, yakni pelit. Ia hanya membayar zakat fithrah tiap Idul Fitri, itu pun dengan jumlah yang amat syar’i (sesuai dengan syari’at) yakni 2,5 kg beras per anggota keluarga.
Bandingkan dengan Si Parto, tetangga Si Husein yang petani. Setiap panen padi Parto selalu menyisihkan 10% hasil panennya untuk membayar zakat, tanpa memperdulikan betapa besar ongkos bertani di jaman sekarang. Tentu zakat itu di luar zakat fithrah yang ia genapkan jadi 3 kg per anggota keluarga.
Berbeda lagi dengan Si Ihsan, sebut saja begitu, adalah seorang karyawan dengan gaji yang tidak terlalu besar. Sebenarnya ia juga mengikuti pendapat bahwa gaji tidak perlu dizakati. Akan tetapi tiap bulan ia memastikan bahwa lebih dari 2,5 persen pendapatan yang ia terima ia sedekahkan kepada kerabat dekat yang membutuhkan, dan bila ada yang masih tersisa baru ia sedekahkan untuk yang lain-lain.
***
Ketika Jibril, yang menyamar sebagai lelaki dengan pakaian serba putih dan rambut hitam legam, bertanya tentang ihsan, Kanjeng Nabi menjawab: “ihsan itu ketika beribadah kepada Allah SWT, engkau seolah-olah melihat-Nya, atau kalau engkau tidak bisa melakukan yang seperti itu, engkau merasa sedang dilihat-Nya” (HR. Bukhari & Muslim, dalam Kitab Fathul Bari Juz I). Dengan demikian ihsan tidak sekadar memenuhi syarat dan rukun dalam beribadah. Harus lebih dari itu: dihayati, Allah SWT “dihadirkan”, dan dimaknai lebih dari sekedar ritual semata.
Allah SWT juga berbicara soal ihsan ketika menjelaskan orang-orang yang mendustakan agama, “yaitu orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan dirinya atau orang lain untuk memberi makan orang miskin” (QS. Al-Ma’un: 1-3). Mereka beragama, menjalankan ibadah-ibadah ritual, tetapi lupa untuk meng-ihsan-kan agama mereka dengan ibadah-ibadah sosial.
Ihsan adalah melampaui syariat. Melampaui, bukan berarti melanggar. Ihsan lebih dalam, menembus hakikat berislam itu sendiri.
Ust. Muahmmad Arif Widodo
Lembaga Amil Zakat dan Infaq Al-Ma'un Sadar Berbagi …