Breaking News

Buletin Al Ma’un Edisi 44


Arti Kata Akram dan Dorongan Al-Quran untuk Meningkatkan Minat Baca

Perintah membaca kedua ditemukan sekali lagi dalam wahyu pertama. Tetapi, kali ini perintah tersebut dirangkaikan dengan wa rabbuka al-akram. Ayat ini antara lain merupakan dorongan untuk meningkatkan minat baca.

Untuk memahami arti dari kata akram, sewajarnya kita kembali kepada akar katanya yaitu karama yang menurut kamus-­kamus bahasa Arab antara lain berarti memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia, dan kebangsawanan.

Dalam Al-Quran ditemukan kata karim terulang sebanyak 27 kali. Kata tersebut menyifati 13 hal yang berbeda-beda, seperti qawl (ucapan), rizq (rezeki), zawj (pasangan), malak (malaikat), zhil (naungan), kitab (surat), dan sebagainya.

Tentunya, pengertian yang dikandung oleh sifat “karim” dalam ayat yang berbeda-beda di atas harus disesuaikan dengan subjek yang disifatinya. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kata karim dan kemudian akram digunakan oleh Al-Quran untuk menggambarkan segala sesuatu yang terpuji menyangkut subjek yang disifatinya.

Kembali kepada “Rabbuka Al-Akram”, yang disifati di sini adalah “Rabb” (Tuhan pemelihara). Apakah kata akram yang berbentuk superlative ini akan dibatasi pengertiannya dalam suatu hal tertentu? Jawabannya adalah tidak; apalagi ayat ini adalah satu-satunya ayat di dalam Al-Quran yang menyifati Tuhan dalam bentuk tersebut dari kata karim.

“Wa rabbuka Al-Akram” mengandung pengertian bahwa Dia (Tuhan) dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi segala hambanya yang membaca.

Tentunya, kita sebagai makhluk tidak dapat menjangkau betapa besar “karam” Tuhan. Bagaimanakah makhluk yang terbatas ini dapat menjangkau sifat Tuhan Yang Mahamutlak dan tidak terbatas itu? Namun demikian, sebagian darinya dapat diungkapkan sebagai berikut:

“Bacalah, Tuhanmu akan menganugerahkan dengan karam­Nya (kemurahan-Nya) pengetahuan tentang apa yang engkau tidak ketahui.”

“Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walaupun objek bacaan sama, niscaya Tuhanmu dengan karam-Nya akan memberikan pandangan/pengertian baru yang tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam objek tersebut.”

“Bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberikan kepadamu manfaat yang banyak tidak terhingga karena Dia Akram (memiliki segala macam kesempurnaan).”

Di sini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga. Yakni, yang pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca, sedangkan perintah kedua menjanjikan manfaat yang diperoleh dari bacaan tersebut.

Tuhan dalam ayat ketiga ini menjanjikan bahwa pada saat seseorang membaca “demi karena Allah”, maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, wawasan-wawasan baru walaupun yang dibacanya itu-itu juga.

Apa yang dijanjikan ini terbukti secara sangat jelas dalam “membaca” ayat Al-Quran, yaitu dengan adanya penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan-pengembangan pelbagai pendapat dari yang telah pernah dikemukakan. Hal ini terbukti pula dengan sangat jelasnya dalam “pembacaan” alam raya ini, dengan bermunculannya penemuan­-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam.


Peradaban yang Dibangun oleh “Makhluk Membaca”

Demikianlah, perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang dapat diberikan kepada umat manusia. Karena, membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempuma. Sehingga, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa “membaca” adalah syarat utama guna membangun peradaban.

Manusia bertugas sebagai ‘abd lillah dan juga sebagai khalifah fi al-ardh. Kedua fungsi ini adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia, sekaligus sebagai persyaratan mutlak bagi kesempurnaan pelaksanaan kedua tugas tersebut.

Dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah kepada manusia (Adam), ia memiliki kelebihan dari malaikat, yang tadinya meragukan kemampuan manusia untuk menjadi pembangun peradaban (menjadi khalifah di bumi ini). Dan dengan ibadah yang didasari oleh ilmu yang benar, manusia menduduki tempat terhormat, sejajar bahkan dapat melebihi kedudukan umumnya malaikat. Dimana ilmu, tidak tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu melakukan qira’at—bacaan dalam artinya yang luas.

Kekhalifahan menuntut hubungan antara manusia dengan manusia, dengan alam serta hubungan dengan Allah. Kekhalifahan menuntut juga kearifan. Karena, dalam kaitannya dengan alam, kekhalifahan mengharuskan adanya bimbingan terhadap makhluk agar mampu mencapai tujuan penciptaannya. Untuk maksud tersebut, dibutuhkan pengenalan terhadap alam raya. Pengenalan ini tidak mungkin tercapai tanpa usaha qira’at (membaca, menelaah, mengkaji, dan sebagainya).

Demikianlah, iqra’ merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal tersebut, tidaklah mengherankan jika ia menjadi tuntunan pertama yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia.[]

 

Sumber:
Buku “Membumikan” Al-Qur’an
Karya Prof. M. Quraish Shihab

Comments

comments

Pages ( 2 of 2 ): « Previous1 2