Salah satu syarat mutlak bagi kebangkitan kembali sebuah peradaban dunia sudah terpenuhi oleh peradaban Islam, yaitu “persambungan elemen-elemen kehidupannya, sehingga membentuk kerangka tangguh bagi kebangkitan kembali Islam itu sendiri”. Elemen-elemen itu sebagaimana digambarkan dari persambungan warisan material yang begitu megah, untuk kemudian diantarkan oleh keagungan rohani yang sudah lestari ke gerbang kebangunan kembali oleh kelengkapan yang telah berkembang dalam dirinya, membentuk sekuen-sekuen/bagian-bagian yang berurutan dari gambaran terpenuhinya persyaratan kebangkitan kembali peradaban Islam itu.
Hasilnya dapat kita amati dari perkembangan yang terjadi sekarang ini: dari meningkatnya kegairahan untuk melakukan peribadatan di kawasan Asia Tenggara (penuhnya masjid-masjid, ramainya forum-forum keagamaan Islam dan sebagainya), melalui keberhasilan kaum muslimin Iran di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini[3]. untuk melakukan koreksi total atas kesalahan-kesalahan fundamental yang dilakukan Syah Reza Pahlevi[4], hingga kepada kesadaran kaum cendikiawan negara-negara Afrika Utara untuk membentuk cakra budaya baru yang lebih bernafaskan Islam, baik melalui pengembangan kaidah-kaidah lama seperti al-Azhar, maupun melakukan penafsiran baru seperti ditempuh Mustafa Mahmud[5] dengan tafsir al-Qur’an kontemporernya yang sempat membuat heboh di Mesir beberapa tahun yang lalu.
Tanda-tanda kebangunan kembali peradaban Islam sudah tampak sehingga mudah saja orang menjadi terbuai untuk turut memproklamasikan Islam sebagai bagian dari apa yang dinyatakan oleh sosiolog Daniel Bell[6] dari Universitas Harvard, bahwa “abad kedua puluh satu nanti adalah abad agama (The Age of Religion).” Tetapi sikap untuk mudah terbuai ini justru bertentangan dengan sikap hidup cendekiawan. Karenanya kita harus mempertanyakan kepada diri kita masing-masing, sudah benarkah pengamatan di atas, cukup kuat dan langgeng momentumnyakah unsur-unsur yang menunjang kebangunan kembali itu? Adakah ia menunjuk kepada kehidupan beragama yang lebih baik daripada sekarang ataukah justra sebaliknya yang akan terjadi? Apakah proyeksi dari kebangunan kembali itu, sehingga nantinya dapat didentifikasikan manifestasi kebangunan kembali itu sendiri secara kongkret dan tuntas?
***
Kesulitan terbesar untuk melakukan proyeksi itu adalah memperkirakan aspek-aspek mana saja yang akan tinggal langgeng dari manifestasi kehidupan beragama kaum Muslimin yang ada sekarang. Akan lestarikah kecenderungan memegang teguh ajaran-ajaran legal formalistik yang ada dalam syari’at dan tauhid, ataukah justru kecenderungan mencari cara-cara penafsiran kembali (reinterpretasi) ajaran agama lebih banyak berkembang di kemudian hari? Akan lestarikah semangat paguyuban kaum sufi seperti tercermin dalam puluhan ribu gerakan tarekat dan tempat ritual (zawáyã, sufun al-naját) yang mereka dirikan di seluruh dunia Islam sekarang ini, ataukah justru kontemplasi spekulatif dalam lingkungan individual tentang kebulatan hidup manusia antara unsur-unsur duniawi dan ukhrawi-nya yang akan lebih banyak diikuti kaum muslimin nantinya? Zamakhsyari Dhofier dalam sebuah tulisannya, The Ideology of the Javanese Kyai, mengemukakan pendapat “kyai kolot” yang menyangsikan perlunya ditegakkan “urusan dunia”, sementara “urusan akhirat” belum lagi ditata lebih baik. Gejala inikah yang akan lebih kuat, ataukah justru gejala lebih jauh lagi menggarap urusan dunia dan urusan akhirat secara bersamaan, seperti dilakukan kaum modernis di mana-mana?
Lembaga Amil Zakat dan Infaq Al-Ma'un Sadar Berbagi …