Dengan memahami sifat-sifat penyayang Allah kepada hamba-Nya tersebut, seorang salik dapat lebih memahami nikmat yang ada di dalam musibah serta limpahan kemurahan yang diberikan sesudahnya.
Musibah sebagai Karunia
Musibah dan penderitaan itu merupakan sarana untuk membersihkan manusia dari dosa dan aib sekaligus mendekatkan derajat kepada-Nya. Ingatlah, bahwa melalui musibah, Allah selalu memberi kita anugerah, karena segala yang telah ditetapkan Allah kepada kita, pada dasarnya adalah pilihan terbaik bagi diri kita.
Sebaliknya, kata Ibn Athaillah, “ada kalanya engkau mendapat karunia besar dari Allah pada saat gelapnya kesedihan (fi lail al-qabdl), apa-apa yang tidak engkau dapatkan pada saat nikmatnya kesenangan (isyraq nahar al-basth). Dan bisa jadi dengan datangnya kesedihan, kita dapat menemukan anugerah Allah yang tidak dapat kita temukan pada saat kita melakukan shalat dan puasa (rubama wajadta al-mazid fi al-faqaat ma la tajiduhu fi al-shaum wa al-shalat).”
Bahkan, menurut Ibn Athaillah, “wurudul faqat a’yadul muridin, bahwa datangnya kesukaran, kemiskinan, kekurangan hingga merasa rendah dan hina diri itu sebagai hari raya para murid (pencari Allah).” Karena pada saat demikian, seseorang benar-benar merasakan dirinya berada pada titik yang amat rendah, sehingga sangat membutuhkan pertolongan Allah. Dan inilah masa terbaik untuk mendekatkan diri dan meminta belas kasihan kepada Allah.
Jika direnungkan lebih dalam, masa-masa seseorang berada di titik nadir dalam hidupnya secara tidak langsung akan menghapus kesombongan dan nafsu untuk membanggakan dirinya. Kekayaan dan kemegahan yang ia sombongkan selama ini, ternyata tidak memberikan kebaikan pada dirinya. Karena itu, bagi salik yang berjuang menghilangkan hawa hafsu, saat-saat ditimpa kemiskinan seperti hari raya yang menggembirakan, sebab pada saat itu hilang nafsu kesombongan dan berbangga diri, digantikan dengan hakikat sesungguhnya dari manusia, yaitu sebagai hamba Allah.
Maka tidak heran jika Ibn Athaillah menyatakan, “al-faqaat busuth al-mawahib, bahwa berbagai ujian kekurangan itu seperti hamparan pemberian karunia Allah.” Hamparan pemberian yang dimaksud adalah saat-saat manusia dapat benar-benar mengakui kehambaan diri dihadapan Allah, khusyuk berdekatan dengan-Nya, bermunajat, mujahadah, berasyik-masyuk bersama sang Khalik.
Ibn Athaillah memberikan nasehat bagi para pendamba anugerah Allah, untuk mengakui kefakiran dan kemiskinan diri (shahih al-faqr wa al-faqat) di hadapan-Nya. “Nyatakan sifat-sifat kekuranganmu, nisacaya Allah membantumu dengan sifat-sifat (kesempurnaan-Nya) (tahaqqaq biaushafik yamuduk biaushafih). Akui kehinaanmu, Allah akan menolongmu dengan kemuliaan-Nya (Tahaqqaq bidzalik yamudduk bi’izzih). Sadari kekuranganmu, Allah akan menolongmu dengan kekuasaan-Nya (tahaqaq bi’ajzik, yamudduk bi qudratih). Dan Insyafi kelemahanmu, Allah akan menolongmu dengan kekuatan-Nya (tahaqqaq bidlu’fik yamudduk biquatih).” [Tim Redaksi]