Secara umum ada dua macam zikir: pertama, dzikr bil lisan, yaitu mengucapkan sejumlah lafal yang dapat menggerakkan hati untuk mengingat Allah. Zikir dengan pola ini dapat dilakukan pada saat-saat tertentu dan tempat tertentu pula. Misalnya, berzikir di masjid sehabis salat wajib.
Kedua, dzikr bil qalb, yaitu keterjagaan hati untuk selalu mengingat Allah. Zikir ini dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, tidak ada batasan ruang dan waktu. Pelaku sufi lebih mengistimewakan dzikr bil qalb ini karena implikasinya yang hakiki. Meskipun demikian, sang dzakir (seseorang yang berzikir) dapat mencapai kesempurnaan apabila ia mampu berzikir dengan lisan sekaligus dengan hatinya.
Yang perlu diperhatikan, zikir tidak menuntut seseorang untuk memahami konteks. Zikir hanya memerlukan arahan seorang guru. Jadi, zikir yang efektif adalah zikir yang diilhami dengan tepat oleh seorang guru spiritual yang selalu menuntunnya. Hal ini secara sederhana dan praktis dapat kita saksiskan dalam lingkungan pesantren. Di kalangan santri, zikrullah biasanya diawali dengan dzikr bil lisan, yaitu mengucapkan lafal-lafal tertentu secara khusyuk, penuh konsentrasi, istiqomah dan thuma’ninah (ketenangan batin).
Pada tahap awal, pengucapan zikir memang terasa sebatas lisan. Ini bukanlah sesuatu yang buruk. Hanya saja, seseorang perlu meningkatkan kualitas zikirnya hingga benar-benar mengantarkannya pada kondisi persaksian atas kesucian dan keagungan Allah. Kontinuitas zikir mampu membawa manusia pada satu tahapan dimana persaksian terhadap Allah memenuhi wilayah qalb (hati). Pada tahap ini, zikir tidak lagi berada di wilayah kesadaran, tetapi juga masuk dalam wilayah ketidaksadaran. Proses zikirpun berjalan di kala terjaga, tidur, pingsan, mati suri, bahkan di saat sakaratul maut, saat menghadapi kematian.
Dengan demikian, orientasi zikir adalah pada penataan qalb atau hati. Qalb memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena baik dan buruknya aktivitas manusia sangat bergantung kepada kondisi qalb.
Konsepsi zikir tersebut menunjukkan bahwa zikir merupakan pelatihan hati untuk ber-musyahadah kepada Allah. Musyahadah adalah upaya pengabaian manusia terhadap segenap yang destruktif, sekaligus sebagai obsesi untuk menjadi pribadi yang sempurna. Musyahadah inilah yang merupakan makna hidup yang telah lama menghilang dari kehidupan manusia sehingga terperangkap ke dalam berbagai krisis, mulai dari krisis sosial, krisis struktural hingga krisis moral.
Hilangnya musyahadah dari dalam diri manusia beriringan dengan orientasi hidup yang serba materialistis. Kehidupan manusiapun tidak lagi berkualitas karena pengabaiannya atas makna dan nilai. Kerja keras banyak diukur seberapa besar produk yang dihasilkan dan seberapa lama waktu yang dihabiskan. Padahal, kerja keras juga mencakup nilai seberapa manfaat produk yang dihasilkan bagi kehidupan dan seberapa lama produk itu memberi manfaat bagi derajat kemanusiaan.
Di sinilah peran zikir, yaitu memacu manusia untuk bertindak berdasarkan pemanfaatan dan kemaslahatan. Zikir dapat membimbing seseorang untuk beraktivitas dengan hatinya. Zikir akan mempersembahkan hati manusia sebagai tempat suci yang di dalamnya alam semesta menjelma sebagai bukti-bukti kehadiran Allah, kapan saja dan di mana saja.
Sumber: Majalah Risalah NU Edisi 46