Lalu apakah sebenarnya pentingnya tawadhu’? Selain mengharapkan derajat dari Allah SWT, tawadhu’ juga menghindarkan diri kita dari sifat yang paling dibenci Allah SWT Yang Maha Kuasa yaitu sombong. Karena kesombongan akan menimpa mereka yang tidak memiliki ketawadhu’an. Padahal sejatinya kesombongan itu hanya pantas dimiliki-Nya. Oleh karena itu, Allah SWT sangat membenci orang yang sombong. Hal ini terbesit dari hadits qudsi yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
“Sifat sombong itu selendang-Ku, keagungan adalah busana-Ku. Barang siapa yang merebut salah satu dari-Ku, akan Ku lempar ia ke neraka. Dan Aku tidak peduli.”
Artinya, kesombongan dan keagungan itu hanya khusus milik Allah SWT. Allah SWT sungguh tidak terima bila ada hamba yang memilki sifat keduanya. Begitu tersinggungnya Allah SWT hingga Ia akan melempar siapapun yang ‘menggunakan’ kedua sifat itu ke neraka tanpa peduli. Tanpa peduli apapun status orang tersebut ketika di dunia.
Oleh karena itu, guna mempermudah diri melatih menuju ketawadhu’an kepada Allah SWT hendaknya seorang hamba harus mengakui dan memiliki beberapa sikap diri.
Pertama, merasa hina dan meyakini bahwa yang mulia hanyalah Allah SWT. Seorang hamba harus segera sadar bahwa ia seorang yang hina. Ia hanyalah berasal dari setetes air mani, yang jikalau Allah SWT menghendaki bisa saja mani itu tumpah dan menjadi konsumsi semut dan lalat.
Kedua, merasa faqir dan selalu membutuhkan Allah SWT Yang Maha Kaya Raya. Sekarang para hartawan dan miliuner boleh merasa bangga atas kejayaan dan mengandalkan segala macam harta yang dimilikinya. Akan tetapi, Allah SWT sudah mengingatkan dalam firmannya,
“Sesungguhnya semua harta itu adalah hartaKu, orang-orang faqir itu keluargaKu, dan para hartawan adalah wakilku. Barang siapa yang berlaku pelit terhadap keluargaKu. Aku akan menyiksanya tanpa peduli.”
Ketiga, merasa bahwa dirinya adalah orang yang bodoh dan Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Seringkali para hamba yang dianugerahi ilmu oleh Allah SWT melupakan bahwasannya ilmu itu hanya sekedar titipan Allah SWT yang dapat diambil kapanpun. Lihatlah ketika seorang profesor, doktor, cendekia tetapi terkena stoke apa yang dapat ia lakukan?
Keempat, merasa lemah dan hanya Allah SWT Yang Maha Kuat. Sebagai pelajaran betapa banyak legenda tentang kejayaan para raja yang berkuasa begitu hebatnya, tetapi sekarang hanya tinggal dalam kenangan dan catatan sejarah saja. Bukankah kekuatan negara adidaya di dunia juga selalu silih berganti?
Adapun gambaran praktek tawadhu’ kepada sesama dalam kehidupan sehari-hari, pesan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kepada muridnya berikut bisa kita jadikan sebagai sebuah pegangan.
Jikalau kamu berjumpa dengan seseorang maka hendaklah engkau melihat keunggulannya dibanding denganmu. Dan katakanlah (dalam hati) bahwa orang itu lebih baik dari pada aku di mata Allah SWT. Maka apabila (kamu berjumpa) dengan anak kecil, hendaklah berkata (dalam hati) dia ini belum terlalu banyak maksiat (karena umurnya lebih muda) dan otomatis dia lebih baik dari pada aku. Dan apabila (kamu berjumpa) dengan orang tua, hendaklah berkata orang ini telah lama beribadah kepada Allah SWT sebelum aku (karena umurnya lebih tua), maka dia lebih baik dari pada aku. Apabila (kamu berjumpa) dengan seorang yang ‘alim, hendaklah berkata (dalam hati) dia telah diberi sesuatu (pengetahuan) yang aku belum memilikinya dan dia telah memperoleh sesuatu yang aku belum peroleh dan dia juga telah mengerti apa yang aku tidak mengerti. Dia beramal dengan ilmunya (pastilah lebih diterima amalnya dari padaku). Apabila (kamu berjumpa) dengan seorang yang bodoh, hendaklah berkata (dalam hati) dia maksiat karena kebodohannya, sedangkan aku melakukan maksiat dengan ilmuku. Sungguh aku tidak tahu apakah aku lebih baik dari pada dia.” [Tim Redaksi]