Tokoh Kiai Syukri
Pantas kalau ia dapat “tingkat nasional” dalam forum sesama ulama. Ia cerdik dan teliti. Betapa tidak cerdik, di tiap forum ia meminta kesempatan bicara terakhir. “Apa masih ada waktu untuk saya?,” adalah “merk dagang”-nya yang sudah diketahui semua orang, diucapkan di kala pembicaraan sudah akan diakhiri.
Tetapi, ada sesuatu di balik “kebiasaan” yang disengaja itu, yaitu meluruskan lagi pembicaraan dari kecenderungan untuk menjadi terlalu sempit, terlalu berpegang pada penafsiran harfiah saja tanpa memasukkan pertimbangan situasi konkret dalam kehidupan. Misalnya, puitisasi al-Qur’an. Apa pendapat kiai. “Asal dimaksudkan penyajian ayat-ayat suci dengan susunan kalimat indah tanpa mengubah inti pesannya, ya baik saja ‘kan?” Banyak persoalan didekatinya dengan cara ini.
Kiai Syukri yang sudah tua, tapi masih tetap parlente, ternyata menimbang kearifannya sendiri dalam menggunakan keyakinan agamanya sebagai panduan hidup.
Sejumlah orang NU dan Muhammadiyah secara bergurau memperdebatkan soal “hadiah” membacakan surat Al-Fatihah kepada arwah yang sudah mati. Sampaikah “kiriman” bacaan itu ke alamat yang dituju, seperti halnya Elthea dalam kehidupan dunia? Apakah dasar pendapat yang diikuti masing-masing?
Yang dari Muhammadiyah tidak melihat “dalil yang dapat dipegang” dari al-Qur’an ataupun hadis Nabi Muhammad untuk menunjang kemungkinan kiriman via “Elthea akhirat” sampai ke tujuan di alam sana.
Yang NU memegangi pendapat para ulama mazhab yang empat, yang menerima kemungkinan seperti itu.
Bagaimana Kiai Syukri? Semua mata memandang penuh harap kepada kiai metropolitan yang menjadi goodfather-nya sekelompok “mafia intelektual” dari sebuah daerah di selatan Jawa Tengah ini. Ternyata tidak meleset harapan mereka. Kata Kiai, “Hadiah Fatihah tidak sampai ke alamatnya menurut Imam Syafi’i. Ia sampai menurut ketiga imam mazhab lainnya. Kita ikuti suara mayoritas sajalah”.
Semua lega. Yang dari Muhammadiyah merasa aman karena pendapat mereka juga sejalan dengan pendapat imam pendiri dari mazhab yang paling banyak diikuti di Indonesia. Yang dari NU lega karena masih bisa mengirimkan “hadiah ulang tahun (kematian)” yang mereka warisi dari para kiai zaman dahulu. Sudah tentu kirimannya tidak segera sampai secepat pos kilat khusus, karena tidak didukung oleh Imam Syafi’i, tetapi mereka toh sudah biasa dengan pola alon-alon asal kelakon?
Mencari titik-temu optimal antara pandangan yang saling bertentangan dan jalan yang menuju pada perbedaan pendapat di kalangan ulama di masa lalu adalah spesialisasi Kiai Syukri.
Ini adalah “ideologi” yang dalam lingkungan para kiai dikenal sebagai sikap fihi qaulani (dalam masalah ini ada dua pendapat), yang menyerahkan kepada umat untuk mengambil pilihan masing-masing di antara dua spektrum pendapat yang saling bertentangan. Umat toh sudah dewasa kalau di bawa alasan masing-masing pendapat, mereka akan lakukan pilihan secara dewasa. Kalaupun berbeda dengan orang lain dalam hal itu, akan dilakukan dapa sikap a priori dan sejenisnya.
Kunci dari sikap ini adalah keinginan sangat kuat untuk mencari apa yang terbaik bagi manusia, tetapi melalui pertimbangan manusiawi pula. Dalam bahasa fiqh, kecenderungan ini dinamai “mengutamakan kemaslahatan memang perlu, tetapi mencegah kerusakan jauh lebih penting lagi” (dar’ul mafasid aula min jalbil masalih).
Berapakah di antara kita yang dapat mencapai kearifan demikian, jika dihadapkan pada nilai normatif agama kita masing-masing?
Sumber: Buku “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah” karya KH. Abdurrahman Wahid