NDALILI KEPENTINGAN
“Jadi, sekali kagi, kita harus membangun, saudara-saudara. Kita sendiri harus mengubah keadaan kita. Kita tidak boleh menunggu mukjizat dari langit untuk mengubah keadaan kita menjadi lebih baik. Tuhan sendiri dalam kitab suci-Nya, al-Qur’an, kan sudah berfirman, ‘Sesungguhnya, Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu bangsa sehingga bangsa itu mengubah sendiri keadaan yang ada pada mereka.”
Al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 11 yang disitir itu memng merupakan ayat ngepop sebagai “dalil pembangunan”. Boleh dikata, hampir semua yang berpidato menganjurkan pembangunan, entah dari kalangan ulama atau umara, nyaris tidak pernah lupa menyitir ayat ini. Persis seperti pada zaman Bung Karno dulu, ayat tersebut pun pernah ngepop. Pidato-pidato juga hampir selalu menyitir ayat itu. Bahkan Bung Karno sendiri, konon, sempat menyiarkannya di forum internasional: PBB. Cuma waktu itu bukan sebagai “ayat pembangunan”, tetapi “ayat revolusi” Lho!
Kok bisa “dalil revolusi” itu kemudian jadi “dalil pembangunan”? Bisa saja. Kan revolusi sudah selesai. Alam sudah berubah menjadi alam pembangunan. Jadi, sudah selayaknya dilakukan reaktualisasi terhadap dalil yang sudah tidak relevan lagi untuk ndalili revolusi itu.
Apa memang begitu? Entahlah. Yang jelas ayat yang berbunyi, “Innallaha la yughayyiru ma bi qaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim” itu, pada zaman Bung Karno ditafsirkan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa sehingga bangsa itu mengubah nasib mereka sendiri.” (Mungkin hingga kini masih ada yang menafsirkan begitu). Mengubah nasib kedengarannya kan memang lebih “revolusioner” ketimbang mengubah keadaan.
Tetapi dari mana didapat makna nasib dan keadaan itu? Dari mana lagi? Ya dari lafal ma di ayat itu. Ma itu kan lafal mubham, tersamar. Menunjuk arti tak tentu–sesuatu atau apa. Sesuatu yang ada pada suatu kaum (ma bi qaumin) kan bisa apa saja. Bisa nasib, bisa sikap, bisa falsafah hidup, keadaan, dan sebagainya. Sesuatu yang ada pada diri kaum (ma bi anfusihim) juga bisa apa saja. Bisa nasib juga, sikap, falsafah hidup, keadaan, dan sebagainya.