Apabila dari warisan masa lalu sastra Islam kita tidak hanya terpukau oleh kreativitas kejenakaan Juha/Abunawas/Mulla Nasruddin, petualangan Aladin dan kepahlawanan Sinbad, melainkan berani menukik kepada keluasan pandangan kitab al-Hayawan dari al-Jáhiz, sajak-sajak pahitnya Abil’Ală al-Ma’arri, himbauan kasih sayang al-Rumi[13], kesegaran moralnya Umar Kayyam, dan sebagainya. Mengapakah kaum muslimin tidak mampu mengembangkan sastra yang membawakan pengertian lebih mendalam akan arti kehidupan yang sebenarnya bagi manusia, bukan tempat menuruti keserakahan belaka, tetapi tempat mencari keseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan memenuhinya; bukan wadah pemuas nafsu yang tak terkendali, melainkan wilayah keprihatinan atas bahaya yang mengancam totalitas kehidupan di masa depan sebagai akibat pengurusan sumber-sumber alam tanpa batas; dan persinggahan sementara di mana kasih sayang dan keprihatinan tidak hanya dirupakan dalam karitas cengeng yang menyantuni tetapi sekaligus melestarikan penderitaan, melainkan keterlibatan diri dalam perjuangan secara tuntas untuk membela nasib mereka yang menderita melalui perombakan struktur masyarakat yang tidak adil?
***
Dari visi yang dikemukakan di atas, kita lalu mengetahui bahwa peradaban Islam sedang mengalami kebangunan dan kebangkitan kembali. Kekayaan warisan yang ditinggalkannya selama ini, dari kedalaman penglihatannya atas tempat hakiki manusia dalam kehidupan hingga kepada toleransinya yang begitu besar, membuat kaum muslimin lalu memiliki landasan berpijak yang sangat kuat dalam mengarungi proses kebangkitan kembali itu. Warisan materialnya, dari konsep-konsep arsitektural yang menangani kehidupan secara keseluruhan hingga gagasan-gagasan ekonomi yang lebih menjamin kelestarian hidup, memungkinkan kaum muslimin untuk menoleh dari masa lalunya, berupa semangat Islam yang sebenarnya dalam menghadapi tantangan justru dibawakan oleh kehidupan itu sendiri. Kesanggupan peradaban Islam dan kemampuan untuk meramu sebuah peradaban baru di masa lalu, dari warisan peradaban-peradaban Mesir Kuno, Mesopotamia, Asia Kecil, Persia dan sisa-sisa Hellenisme Yunani Kuno, memberikan petunjuk bagi kaum muslimin untuk meramu keluhuran hidup yang dinamis dan berkeseimbangan dari peradaban peradaban yang ada sekarang, yang umumnya telah menjurus kepada perbudakan teknologi dan mesin atas manusia, seperti yang dipadukan dengan sempurna oleh Charlie Chaplin dalam The Great Machine dan George Orwell dalam Nineteen Eighty four-nya.
Kaum muslimin masa kini memang tidak dituntut untuk menyamai penemuan para sarjana masa lampau, dari al-Kindi[14] sampai penemu muslim tak dikenal yang menemukan besi hitam tak berkarat di India dari masa kejayaan dinasti Mughal. Tetapi mereka dituntut untuk menerapkan dan menafsirkan kembali penemuan-penemuan sesuai dengan kebutuhan hakiki umat manusia, tugas yang jauh lebih berat dari tugas melakukan penemuan itu sendiri. Kaum muslimin masa kini tidak dituntut menghasilkan karya agung sastra dunia seperti Kalilah Wa Dimnah[15]. Tetapi mereka diberi kemampuan untuk memberikan arti baru kepada kehidupan melalui karya itu, yang juga bukan tugas lebih ringan, yaitu meneruskan tradisi secara dinamis jauh lebih berat dan sukar daripada membuat tradisi itu sendiri. Kaum muslimin masa kini tidak dituntut untuk mendirikan aliran-aliran Hukum Islam, seperti mazhab-mazhab fiqh yang empat, atau aliran Teologia Islam, seperti mazhab tauhid al-Asy’ari dan al-Maturidi ataupun al-Ghazali, tetapi mereka diharuskan menerapkan secara kreatif ketentuan-ketentuan yang diletakkan ke semua mazhab itu dalam situasi kehidupan yang modern, sebuah proses penafsiran kembali yang jauh lebih sulit dari mendirikan ke semua mazhab itu sendiri.
Dari kemampuan kaum muslimin masa kini untuk memenuhi ke semua tuntutan di atas, dan menghindari tuntutan-tuntutan semu yang tidak begitu berarti banyak bagi upaya melestarikan kehidupan, justru bergantung corak wawasan kemanusiaan dari peradaban Islam yang sedang bangkit kembali dewasa ini. Kalau kaum Mu’tazilah pernah menjulangkan nama Islam dalam sejarah dunia dengan visi humanismenya yang segar dan kreatif selama beberapa abad lamanya, maka kaum muslimin kini dituntut untuk merumuskan kembali arti Islam bagi kehidupan yang mengalami begitu banyak perubahan dengan cepat, memiliki begitu aneka ragam tantangan dan kemungkinan. Dari kemampuan memenuhi tuntutan inilah akan ditentukan dimensi dan kerangka kebangkitan kembali peradaban Islam dalam masa depan yang tidak terlalu jauh lagi.[]