Buah Meneladani Sifat-sifat Allah
Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Wujud Yang Mahasempurna, yang menghimpun aneka sifat sempurna. Manusia yang sempurna/insan kamil adalah yang berhasil mendekati sebisa mungkin sifat/akhlaknya dengan sifat-sifat Allah Yang Mahasempurna itu. “Mendekati” karena mustahil bagi makhluk untuk menyerupai Wujud Mutlak Yang Maha-agung itu.
Agar berhasil melaksanakan upaya meneladani sifat-sifat Allah diperlukan pengenalan terhadap Allah dan sifat-sifatnya-Nya. Semakin sempurna pengenalan itu, semakin besar potensi keberhasilan peneladanan-Nya. Pengenalan kepada Allah dapat diusahakan melalui dua cara: pertama, mempelajari teologi dan kedua dengan menelusuri jalan yang mengantar untuk mengenal-Nya. Inilah yang dinamai suluk, sebagaimana ditempuh oleh para pengamal tasawuf.
Siapa pun yang berhasil meneladani sifat-sifat Allah, maka akan lahir dari tingkah lakunya–lahir dan batin–secercah dari sifat-sifat Allah yang diteladaninya. Misalnya, meneladani sifat Allah ar-Rahman (Pelimpah kasih bagi seluruh makhluk dalam kehidupan dunia ini), seorang mukmin akan berusaha memberi kasih kepada semua makhluk, tanpa kecuali–manusia, Muslim atau non-Muslim, binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan makhluk-makhluk tak bernyawa sekalipun–karena demikianlah Allah dengan sifat Rahman-Nya.
Dengan meneladani sifat-Nya Rahim (Pelimpah rahmat di Hari Kemudian), sang peneladan memberi kasih kepada saudara-saudara seiman sambil meyakini bahwa tiada kebahagiaan, kecuali bila rahmat-Nya yang di Hari Akhir itu dapat diraih.
Dengan sifat al-Quddus (Mahasuci), seorang mukmin menyucikan dirinya–lahir dan batin–serta mengembangkan potensi-potensinya sehingga ia selalu akan berupaya mencari yang benar, mewujudkan yang baik, dan mengekspresikan yang indah karena “suci” adalah gabungan dari kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Mencari yang benar melahirkan ilmu, mewujudkan yang baik, melahirkan budi, dan mengekspresikan keindahan menciptakan seni.
Dengan meneladani sifat-Nya al-‘Afuw (Mahapemaaf), seorang akan selalu bersedia memberi maaf dan menghapus bekas-bekas luka hatinya, serta tidak pernah terlintas dalam benaknya, apalagi terucapkan oleh lidahnya kata-kata: “Tiada maaf bagimu”.
Dengan meneladani Allah yang bersifat al-‘Adl (Mahaadil), seseorang akan menegakkan keadilan terhadap dirinya sendiri sebelum menuntutnya dari orang lain. Menegakkan keadilan terhadap diri adalah dengan meletakkan syahwat dan amarah sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah agama, akal, dan budaya; bukan menjadikan nafsu dan syahwat sebagai tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agamanya. Karena jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.