Breaking News

Buletin Al Ma’un Edisi XXVII

KESALEHAN RITUAL DAN SOSIAL

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia,
Melainkan agar mereka menyembah-Ku.”

(QS. 51:56)
______________________

Menyembah dan mengabdi kepada Allah tidak hanya terbatas dalam laku ibadah seperti shalat, puasa, dan haji saja. Menyembah dan mengabdi kepada Allah adalah keseluruhan dalam lingkup hidup dan kehidupan kita secara utuh. Atau jika ingin dibalik dapat diungkapkan: hidup dan kehidupan kita, para hamba Allah yang mukmin, adalah penyembahan dan pengabdian belaka kepada-Nya.

Kita menyembah dan mengabdi kepada Allah dalam sembahyang kita, dalam puasa kita, dalam zakat kita, dalam haji kita, dalam pergaulan rumah tangga dengan anak-istri kita, dalam pergaulan kemasyarakatan dengan tetangga dan sesama, pendek kata dalam segala gerak-langkah hidup kita. Bahkan seperti apa yang senantiasa kita ikrarkan, “Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi Rabbil ‘alamin. Shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semata-mata adalah bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Allah memang berkenan dan menyediakan shalat sebagai sarana khusus bagi kita mengahadap ke hadirat-Nya untuk mengulang ikrar penghambaan, penyembahan, dan pengabdian; menyatakan syukur dan permohonan kita sebagai hamba. Allah juga berkenan dan menyediakan puasa sebagai sarana khusus bagi kita menyatakan kefakiran, ke-dha’if-an, dan kepatuhan kita kepada-Nya, melawan diri kita sendiri, untuk mendapatkan ampunan, ridha, dan tempat yang sedekat-dekatnya di sisi-Nya.

Demikian pula, Allah berkenan menyediakan zakat dan sedekah sebagai sarana kita yang berharta, untuk membersihkan diri dari keterikatan dan penghambaan kepada harta yang mati dan sekaligus sebagai peluang bagi kita untuk memiliki “tabungan masa depan” yang meyakinkan.

Bagi kita yang mampu, Allah pun berkenan dan menyediakan haji sebagai sarana kita bertamu dan menghadap bersama hamba-hamba-Nya yang lain, bersimpuh menangis di pelataran-Nya yang suci, dan melakukan semacam gladi resik bagi pertamuan agung di Mahsyar kelak.

Memang, Allah berkenan dan menyediakan sarana-sarana beribadah dan taqarrub yang khusus seperti itu, yang apabila dilakukan secara benar, justru dapat mengangkat harkat dan martabat manusia dalam dua kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat. Namun sayang sering kali kita, bukan saja membatasi penyembahan dan pengabdian dalam ritus-ritus khusus seperti itu, bahkan dengan itu kita masih pula mendangkalkannya dalam pengertian fiqh-nya yang lahiriah.

Gerak-laku kita di dalam ritus-ritus tersebut sering kali hanya sekadar gerak-laku yang kosong makna. Dzikir dan bacaan-bacaan kita di dalamnya sering kali sekadar terluncur oleh bibir-bibir yang terbiasa, bukan dikendarai dan dikendalikan oleh makna yang terkandung di dalamnya. Maka tak mengherankan jika shalat, misalnya, yang seharusnya dapat tanha ‘anil fakhsya-i wal munkar (dapat membentengi orang yang melakukannya dari perbuatan keji dan munkar), justru tak tampak pengaruh positifnya dalam kehidupan mushalli yang bersangkutan.

Lebih buruk lagi, pada gilirannya, ritus-ritus yang didangkalkan seperti itu justru dijadikan alasan oleh mereka yang belum melakukannya untuk tidak segera melakukannya. Apalagi bila ternyata perbuatan mereka, yang melakukan ritus-ritus secara dangkal itu, tidak mencerminkan perbuatan hamba Allah yang baik dalam kehidupan sehari-hari seperti yang seharusnya dilahirkan oleh makna ritus-ritus itu sendiri.

Dari sinilah agaknya bermula ungkapan dikotomis yang sungguh tidak menguntungkan bagi kehidupan beragama di kalangan kaum Muslim, yaitu ungkapan tentang adanya kesalehan ritual di satu pihak dan kesalehan sosial di pihak yang lain. Padahal kesalehan dalam Islam hanya satu. Yaitu kesalehan muttaqi (hamba yang bertakwa) atau dengan istilah lain, mukmin yang beramal saleh. Kesalehan yang mencakup sekaligus ritual dan sosial. Wallahu a’lam.

Disarikan dari buku “Saleh Ritual Saleh Sosial”
karya KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus)

Comments

comments

Pages ( 1 of 2 ): 1 2Next »