Breaking News

Buletin Al Ma’un Edisi XXI

Musuh Dalam Selimut

Dengan segenap hubungan fluktuatif yang terjadi, gagasan negara bangsa yang dicetuskan oleh para Pendiri bangsa yang masih kita nikmati sampai hari ini bukanlah sebuah proses yang mudah, ini merupakan fakta historis yang harus kita sadari dan pahami. Para ulama seperti Abikusno Tjokrosujoso, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hasan, dan tokoh-tokoh penting Pendiri Bangsa lainnya, sadar bahwa negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan bukanlah negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan negara bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan Sunan Kalijogo, serta keteladanan lain semacamnya, dengan tepat mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.

Para Pendiri Bangsa sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqashid al-syari’ah, yaitu kemaslahatan umum (al-mashlahat al-‘ammah, the common good). Dengan kesadaran demikian mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan menekankan subtansinya. Mereka memposisikan negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan cara demikian, melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya (rahmatan lil-‘alamin) dalam arti sebenarnya.

Memang ada relasi fluktuatif antara agama (c.q. Islam) dengan nasionalisme (c.q. Pancasila). Ada kelompok yang ingin mendirikan negara Islam melalui konstitusi (misalnya dalam Majlis Konstituante) dan lainnya melalui kekuatan senjata (seperti dalam kasus DI/TII). Akhir-akhir ini kita kembali disibukkan dengan menguatnya ketegangan relasi antara Islam dengan nasionalisme. Ada kelompok-kelompok garis keras yang mempertentangkan konsensus kebangsaan kita. Melihat hal ini, kita harus sadar bahwa jika Islam diubah menjadi ideologi politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan batasan-batasan ideologis dan platform politik. Pemahaman apa pun yang berbeda, apalagi bertentangan dengan pemahaman mereka dengan mudah akan dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri, karena watak dasar tafsir ideologi memang bersifat menguasai dan menyeragamkan. Dalam bingkai inilah aksi-aksi pengkafiran maupun pemurtadan sering dan mudah dituduhkan terhadap orang atau pihak lain. Perubahan ini dengan jelas mereduksi, mengamputasi, dan mengebiri pesan-pesan luhur Islam dari agama yang penuh dengan kasih sayang dan toleran menjadi seperangkat batasan ideologi yang sempit dan kaku.

Comments

comments

Pages ( 1 of 3 ): 1 23Next »