KH. Achmad Siddiq (1926-1991)
Menjernihkan Hubungan Pancasila dengan Islam
“IBARAT makanan, barang sudah kita kunyah bertahun-tahun kok sekarang diributkan…”
Inilah kata-kata yang pernah popular pada awal ’80-an, mengingatkan orang pada penuturnya, KH. Achmad Siddiq. Dalam konteks politis, kalimat sederhana itu ternyata memiliki bobot logika yang tinggi dan menjadi tidak sederhana.
KH. Achmad Siddiq dilahirkan di Jember Jawa Timur, 24 Januari 1926. Beliau putra ke-16 dari 25 bersaudara, putra KH. M. Siddiq. Sesudah tamat dari SD, beliau langsung nyantri di beberapa pesantren besar di Jawa Timur, termasuk pesantren As-Shiddiqiyah Jember yang diasuh ayah beliau sendiri. Terakhir beliau belajar di pesantren Tebuireng, Jombang.
Ulama dan Negarawan
Situbondo, 19-20 Desember 1983. Di depan ratusan ulama yang hadir di Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, KH. Achmad Siddiq harus mempertanggung jawabkan pemikirannya. Beliau dibantu makalah setebal 34 halaman yang ditulisnya sendiri. Bukan sembarang persolan yang dibahas waktu itu. Tetapi, persoalan mendasar yang sangat kontroversial untuk kondisi waktu itu. Yaitu berkenaan dengan sikap umat Islam terhadap kebijakan pemerintah memberlakukan asas Pancasila. Inilah sebuah pembahasan yang sangat alot, dan sekaligus mempertaruhkan kredibilitas dan kepiawaian KH. Achmad Siddiq sebagai ulama dan negarawan.
Sungguh luar biasa. Ratusan ulama yang sejak awal menampik Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, sikap yang juga menjadi kecenderungan pada umumnya umat Islam waktu itu, secara berangsur-angsur berubah. Jalan pikiran yang diberikan KH. Achmad Siddiq begitu mudah dipahami.
Dengan tangkas KH. Achmad Siddiq menjawab setiap serangan peserta Munas. Beliau tidak berapologi ketika harus menjelaskan soal asas Pancasila. Tapi, cukup dengan mengungkapkan berbagai argumentasi dasar (agama) dan argumentasi historis (politik) dari babakan sejarah umat Islam di Indonesia. Hadirin terdiam dan akhirnya, sebagaimana diketahui, para ulama menyepakati penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
“Ibarat makanan, Pancasila sudah kita kunyah selama 38 tahun, kok kini kita persoalkan halal dan haramnya,” kata beliau setengah bergurau.
Sejak saat itu, sejarah mencatat, NU menjadi ormas Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Itulah salah satu prestasi besar yang pernah ditorehkan KH. Achmad Siddiq. Sekaligus hal itu membuktikan kapasitas keulamaan dan kemampuan intelektualnya. Pokok-pokok pikirannya itu kemudian dibukukan dalam buku Pancasila dan Khittah Nahdliyah.
Tidak sampai di situ. Melalui layar televisi, usai Muktamar ke-27 tahun 1985, KH. Achmad Siddiq kembali menegaskan prinsipnya dalam penerimaan asas tunggal Pancasila. “Bagi NU, Republik Indonesia merupakan bentuk final dari upaya seluruh bangsa Indonesia,” ujar beliau.
***
Tepat tanggal 23 Januari 1991 bangsa Indonesia berduka, KH. Achmad Siddiq menghadap Sang Khaliq. Beliau wafat tepat sehari sebelum hari kelahiran beliau. Sewaktu sebelum wafat, beliau pernah berpesan agar dimakamkan di makamnya orang-orang yang hafal al-Qur’an. Beliau meminta jika sewaktu-waktu meninggal agar dimakamkan di kompleks Pesantren Ploso, Mojo, Kediri. Di sana ada sebuah Pemakaman Auliya, Desa Ngadi, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tempat beberapa kiai hafal al-Qur’an dimakamkan. Karena itu, ketika wafat jenazah beliau dibawa “berkeliling” Jawa Timur. Dari RS. Dr. Soetomo di Surabaya, jenazah beliau dibawa ke Jember, selanjutnya dari sana diberangkatkan ke Kediri.
Beliau meninggalkan seorang isteri dan delapan putra serta beberapa jabatan, antara lain anggota Dewan Pertimbangan Agung RI dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional. [Tim Redaksi]
Disarikan dari buku “Menapak Jejak Mengenal Watak Kehidupan Ringkas 29 Tokoh NU”