Mengandalkan Kebaikan, Mengabaikan Tuhan
Tuhan dilupakan pada saat orang sibuk bekerja atau saat kondisi mujur dan bahagia, tetapi diingat dengan penuh pengharapan pada saat dilanda duka nestapa adalah hal yang lumrah selumrah-lumrahnya.
***
Disisi lain, ada hal yang kelihatan tidak lumrah, tetapi sebetulnya sering kita lakukan yakni mengabaikan Tuhan dengan dan melalui amal kebaikan yang kita lakukan, entah itu berupa aneka ibadah ritual ataupun berbagai ibadah sosial. Kita sering merasa telah membayar Tuhan dengan amal kebaikan yang kita lakukan, lalu tugas Tuhan adalah menyelesaikan kewajiban-Nya, sesuai janji-Nya kepada kita: memasukkan kita ke dalam surga atau mengantarkan kita pada derajat spiritualitas yang lebih tinggi, bukan sekadar mendapat surga dan dijauhkan dari neraka.[1] Hubungan transaksional semacam ini tidak lain adalah sebentuk pengabaian terhadap Tuhan.
Dalam sebuah transaksi, para pihak yang terlibat haruslah memenuhi ketentuan yang telah disepakati. Kalau tidak, pihak yang melanggar ketentuan tidak boleh berharap akan mendapatkan imbal jasa atas transaksi tersebut. Dalam kerangka pikir semacam inilah kita bisa memahami petuah bijak Syaikh Ibnu ‘Athai’llah: “salah satu tanda seseorang mengandalkan amal kebaikannya adalah berkurangnya pengharapan (kepada Tuhan) saat terwujud kesalahan (pada dirinya).” Melalui petuah ini, beliau mengajak kita untuk tidak membangun hubungan transaksional dengan Tuhan dengan mengandalkan amal kebaikan untuk memperoleh ganjaran, karena sejatinya amal kebaikan sama sekali tidak bisa dijadikan andalan dan sandaran. Imam Bukhari, sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Baari bi Syarh ‘l-Bukhari, meriwayatkan sebuah hadits Nabi [2] tentang hal ini:
“Amal kebaikan tidak akan pernah bisa memasukkan seseorang ke dalam surga.”
“Tidak juga engkau, Rasulullah?” tanya para sahabat.
“Ya tidak juga aku, kecuali Allah melimpahkan ampunan dan rahmat kepadaku.”
Syaikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam Al-Hikam l-‘Athiyyah Syarh wa Tahlil menjelaskan bahwa petuah bijak Ibnu ‘Athaillah di atas tidak hanya berkaitan dengan akhlak seorang hamba kepada Tuhannya, tetapi juga terkait erat dengan soal akidah. Mengandalkan amal kebaikan, sebagai konsekuensi logis dari hubungan transaksional, jelas mengandaikan adanya kesetaraan antara dua pihak atau lebih. Jika ini diterapkan dalam hubungan antara makhluk dan Tuhan, maka yang timbul adalah kemusyrikan.
Lalu bagaimana menjelaskan Surat An-Nahl (16) ayat 32: “masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kalian kerjakan.” Bukankah ayat ini secara eksplisit menunjukkan bahwa manusia akan masuk surga karena amal kebaikan mereka? Bukankah ayat ini seolah bertentangan dengan bunyi hadits di atas?
Imam Ibnu ‘Ajibah dalam kitab Ib’adul Ghumam ‘an Iqaadzil Himam fi Syarhil Hikam memberi penjelasan bahwa ayat ini bisa dipahami dalam dua hal: pertama soal dimensi syari’at-hakikat dan kedua terkait proses pentahapan dalam beribadah. Al-Qur’an dan hadits adalah dua hal yang saling terkait, menjelaskan, dan menguatkan. Memedomani keduanya haruslah menggunakan dua sudut pandang sekaligus: syari’at dan hakikat. Kalau satu ayat Al-Quran berbicara soal syari’at, maka pasti di tempat lain, entah di ayat lain atau pada hadits, akan ditemui penjelasan hakikatnya atau sebaliknya. Surat An-Nahl (16) ayat 32 berbicara syari’at yang harus dipenuhi, sementara hadits riwayat Imam Bukhari di atas menjelaskan hakikatnya. Ayat dan hadits ini juga menunjukkan pentahapan dalam ajakan untuk beribadah. Pada tahap awal, manusia perlu diberi iming-iming pahala sebagai imbalan bagi ibadah yang telah mereka lakukan. Pada tahap selanjutnya, ketika manusia semakin dewasa secara spiritual, mereka dituntut beribadah secara ikhlas: tidak mengharap pahala, tetapi hanya semata karena Allah.