Sulitnya memberi maaf bahkan juga pernah dialami Sayyidina Abu Bakar, khalifah pertama yang dikenal penyabar itu. Dikisahkan bahwa beliau secara rutin memberikan bantuan ekonomi kepada seorang kerabatnya dari kalangan muhajirin yang kurang mampu, Misthah ibn ˈUtsatsah. Pada saat tersebar fitnah bahwa Sayyidah Aisyah, putri beliau yang menjadi istri Baginda Rasulullah SAW, berselingkuh dengan Shafwan bin Muaththal, beliau menerima kabar bahwa si Misthah ini menjadi salah satu penyebar fitnah. Sontak Sayyidina Abu Bakar menghentikan bantuan ekonomi yang selama ini diberikan kepada Misthah. Tidak hanya itu, beliau juga bersumpah tidak akan memberikan bantuan kepadanya selamanya. Misthah yang dirugikan dengan keputusan Sayyidina Abu Bakar ini kemudian memberikan klarifikasi bahwa dia tidak ikut menyebarkan fitnah, hanya pernah mendengar saja ketika ada sekelompok orang menggunjing Sayyidah Aisyah.
“Tetapi kau ikut tertawa dan menyepakati fitnah itu”, sergah Sayyidina Abu Bakar, menandakan bahwa beliau tidak akan mencabut tindakan dan sumpahnya.
Kisah di atas dicatat oleh Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an sebagai latar peristiwa turunnya QS 24:22. Hal senada juga dicatat oleh penafsir-penafsir lain, seperti Jalaluddin As-Suyuthi atau Fahruddin Ar-Razi. Ayat tersebut secara tidak langsung memerintahkan Sayyidina Abu Bakar untuk memberikan maaf, berlapang dada, bersikap welas asih, dan tetap memberikan bantuan kepada mereka yang telah menyakiti. Menurut penulis, ini sungguh perintah yang amat berat.
Idul Fitri dan Momen Bermaafan
Apakah beratnya memberikan maaf berbanding lurus dengan besarnya kesalahan? Menurut pengalaman penulis yang mungkin sangat subyektif, jawabannya: tidak selalu. Dalam interaksi sehari-hari, seringkali kita menyakiti hati orang lain dengan tanpa sadar serta tidak diniatkan untuk menyakiti. Celakanya, dalam budaya yang selalu mengedepankan harmoni dalam pergaulan, orang yang kita sakiti cenderung memilih diam dan memendam sakit hatinya. Dengan demikian, memberi maaf juga menjadi sulit dilakukan bahkan untuk kesalahan-kesalahan “kecil”. Karena alasan-alasan inilah dibutuhkan momen untuk saling meminta dan memberi maaf, salah satunya pada saat Idul Fitri: momen untuk memudahkan hal-hal yang sulit. “Mudahkan, jangan dipersulit. Gembirakan, jangan dibuat lari (ketakutan)”, begitu sabda Nabi [3]. Alasan-alasan ini pulalah yang menepis tuduhan: minta maaf kok nunggu Idul Fitri.
Bahkan momen itu bukan saat Idul Fitri saja. Tradisi Islam Nusantara kaya akan momen bermaafan. Saat berpamitan usai bertamu, orang-orang tua kita lazim saling bermaafan. Di pesantren ada tradisi bermaafan tiap malam Jumat atau Jumat pagi. Di surau-surau atau masjid-masjid, para jamaah saling bermaafan seusai salat berjamaah. Tak ada yang enggan bermaafan karena merasa tidak ada yang perlu dimintakan maaf. Dan seperti tradisi ceramah sehabis tarawih, tradisi ceramah subuh, tradisi pesantren kilat, tradisi mabit (bermalam bersama di masjid untuk melaksanakan serangkaian ibadah), atau tradisi buka puasa bersama, tradisi-tradisi bermaafan tentu saja tidak dimaksudkan untuk membuat syariat baru.
*)Ust. Muhammad Arif Widodo
Catatan:
[1] Hadits riwayat Abu Hurairah r.a., dibukukan dalam Sahih Bukhari, Juz 3, Kitaabul Madzalim.
[2] Kamus Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
[3] Hadits riwayat Anas r.a., dibukukan dalam Sahih Bukhari, Juz 1, Kitaabul ‘Ilm.