Breaking News

Buletin Al Ma’un Edisi XXVI

Halal bi Halal: Tradisi Asli Islam Indonesia

Acara halal bi halal akan sering kita jumpai ketika momen Idul Fitri. Mulai halal bi halal di tingkat keluarga, komunitas, kantor, hingga instansi pemerintah. Bahkan, bagi masyarakat kita, rasanya kurang afdhal kalau momen Idul Fitri tidak diisi dengan tradisi halal bi halal.

Tak dapat dipungkiri, bahwa kini bagi masyarakat Indonesia halal bi halal telah menjelma menjadi sebuah tradisi yang sangat efektif untuk menyambung tali bersilaturahmi. Sebuah acara yang sederhana, tetapi kaya akan nilai dan makna.

Acara halal bi halal ini ternyata memiliki sejarah khusus bagi masyarakat Indonesia. Tradisi Islam Indonesia ini merupakan hasil buah pemikiran ulama Indonesia yang bahkan dapat menginpirasi masyarakat muslim di belahan dunia untuk mengisi momen Idul Fitri.

***

Istilah halal bi halal meskipun mengandung unsur bahasa Arab, akan tetapi kata halal bi halal tidak ditemukan dalam kamus Arab modern maupun klasik. Istilah halal bi halal muncul atas dialog konstruktif antara Presiden Soekarno dengan KH. Abdul Wahab Chasbullah, seorang ulama besar Indonesia yang karismatik dan memiliki cara pandang yang luas.

Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana. Pada saat itu suasana politik bangsa Indonesia benar-benar sedang kacau-balau.

Pada tahun 1948, yaitu tepatnya di bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah yang merupakan salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan saran terkait situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahmi.

Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain.”

“Itu gampang”, kata Kiai Wahab.

“Begini, para elit politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga, silaturahmi nanti kita pakai istilah halal bi halal”, jelas Kiai Wahab.

Saran Kiai Wahab tersebut kemudian diamini oleh Bung Karno. Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu mengundang semua tokoh elit politik untuk datang ke Istana Negara dalam acara silaturahmi bertajuk ‘halal bi halal’. Semua tokoh akhirnya bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah menyelenggarakan halal bi halal yang kemudian juga diikuti juga oleh masyarakat secara luas. Bung Karno bergerak melalui instansi pemerintahan, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah halal bi halal sebagai sebuah kegiatan rutin yang menjadi tradisi dan budaya Indonesia saat momen Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.

Istilah halal bi halal ini dicetuskan oleh Kiai Wahab dengan analisis pertama, thalabu halâl bi tharîqin halâl, yakni mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua, halâl “yujza’u” bi halâl, yakni pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Semoga kita sebagai masyarakat Indonesia bisa terus melestarikan halal bi halal sebagai sebuah khazanah tradisi Islam Indonesia yang sarat akan nilai dan makna. Sehingga, anak cucu bangsa ini kelak tetap dapat menikmati manisnya manfaat dari tradisi halal bi halal. [Tim Redaksi]

Comments

comments

Pages ( 3 of 3 ): « Previous12 3