Dewasa ini, Wahabi yang menamakan dirinya kelompok Salafi, juga mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah. Akan tetapi para ulama terkemuka dari kalangan ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fikih yang mengikuti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali tidak mengakui mereka sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan Wahabi disepakati sebagai kelangsungan dari aliran Khawarij pada masa-masal awal Islam yang membawa paradigma pengafiran dan penghalalan darah kaum Muslimin selain golongannya. Al-Imam Ahmad bin Muhammad as-Shawi al-Maliki saat menafsirkan ayat kedelapan surat Fathir berkata:
“Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan as-Sunnah serta menghalalkan darah dan harta kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di Negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahabi, mereka menyangka bahwa mereka akan memperolah suatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.”
-
Mengikuti Ijma’ Ulama
Kata al-Jama’ah disebut juga mengacu terhadap golongan yang menjadikan ijma’ sebagai hujjah dan dalil dalam beragama. Sikap mengikuti ijma’ ulama merupakan realita dalam mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi, karena dalam menetapkan hukum-hukum agama, para ulama yang mengikuti dua mazhab ini selalu menggunakan dalil al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas secara sempurna. Sedangkan aliran-aliran yang lain, pasti menolak sebagian dari dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu, mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi layak disebut Ahlussunnah wal Jama’ah atau al-firqah an-najiyah.
-
Memelihara Kebersamaan dan Kolektivitas
Kata al-Jama’ah juga mengacu pada arti kebersamaan dan kolektivitas, sehingga kata al-Jama’ah tersebut menjadi identitas golongan yang selalu memelihara sikap kebersamaan, kerukunan dan kolektivitas. Hal tersebut akan dapat terwujud dalam suatu realitas apabila pengikut golongan menjauhi adanya perpecahan dengan meninggalkan sikap saling mengafirkan, membid’ah kan dan mefasikkan, meskipun di antara mereka terjadi perbedaan pendapat.
Dalam realita yang ada, Ahlussunnah wal Jama’ah selalu menjaga kebersamaan dan kolektivitas. Perbedaan pendapat yang ada, tidak sampai menimbulkan perpecahan (tafarruq) dan menyebabkan mereka menjadi terkotak-kotak dalam beberapa golongan, karena perbedaan yang ada hanya menyangkut soal-soal furu’ (ranting dan cabang), bukan soal-soal ushul (pokok-pokok ajaran).
-
Golongan Mayoritas
Kata al-Jama’ah mengacu pada arti as-sawad al-a’zham (mayoritas kaum Muslimin), dengan artian Ahlussunnah wal Jama’ah adalah aliran yang diikuti mayoritas kaum Muslimin, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdullah al-Hariri dalam Izhhar al-‘Aqidah as-Sunniyyahi :
“Hendaklah diketahui bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Muhammad Saw. Mereka adalah para Sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip akidah … sedangkan al-Jama’ah adalah mayoritas (as-sawad al-a’zham) kaum Muslimin.”
Pengertian al-Jama’ah adalah as-sawad al-a’zham (mayoritas kaum Muslimin) seiring dengan hadits Nabi Saw:
Dari Anas bin Malik r.a, berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.”
Hadits ini memberi penjelasan, bahwa ketika umat Islam terpecah belah dalam beragam golongan dan aliran, maka kelompok yang harus diikuti adalah kelompok mainstream mayoritas, karena kelompok mayoritas adalah golongan yang selamat (al-firqah an-najiyah). Dan dalam realitasnya, mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (Ahlussunnah wal Jama’ah), ajarannya diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin di dunia dari dulu hingga kini. [Tim Redaksi]
Disarikan dari buku
“Khazanah Aswaja: Memahami, Mengamalkan dan Mendakwahkan Alussunnah wal Jama’ah”