Kiai Muntaha Bangkalan
Sekembalinya dari belajar kepada para Ulama Haramain di Mekah, Syaikhona Kholil mendirikan sebuah pesantren yang bertempat di Cengkubuan, Bangkalan untuk merealisasikan dakwanya supaya terstruktur. Didorong oleh kemasyhuran sosok Syaikhona Kholil, Pesantren Cengkebuan ini berkembang pesat dengan cepat. Namun, Syaikhona Kholil tidak lama menjadi pengasuh Pesantren Cengkubuan. Pasalnya, setelah putri beliau yang bernama Rahmah dirasa sudah layak untuk menikah, maka Syaikhona Kholil menikahkan putri beliau tersebut dengan santri beliau yang alim dan masih tergolong keponakan beliau sendiri. Beliau tidak lain adalah Kiai Muntaha. Setelah resmi menjadi menantu Syaikhona Kholil, Kiai Muntaha diberi amanah oleh Syaikhona Kholil untuk mengasuh Pesantren Cengkubuan.
Adapaun Syaikhona Kholil sendiri, beliau mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan. Di Pesantren Kademangan ini, banyak ulama yang nantinya akan menjadi tokoh pendiri Nahdlatul Ulama menimba ilmu, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri dan KH. Nawawie Noerhasan.
Kiai Muntaha Sebagai Wasilah
Di saat amalan-amalan kelompok Islam Tradisional mendapatkan kritikan tajam dari kelompok Islam Modernis, kiai-kiai pesantren tidak tinggal diam. Sebab kritikan-kritikan mereka kebanyakan mengandung ejekan bahwa amalan yang diwarisi dari walisongo itu tidak ada dasarnya dari al-Qur’an dan Hadits. Dengan dalih ingin mengembalikan ajaran Islama kepada al-Qur’an dan Hadits, kelompok Islam Modernis sering mengatakan bid’ah, syirik dan kafir terhadap amalan kaum Islam Tradisionalis.
Karena selalu dikritik, akhirnya sekitar tahun 1920 para ulama dari berbagai daerah di Indonesia yang berjumlah 66 ulama sowan kepada Syaikhona Kholil untuk meminta saran bagaimana langkah terbaik dalam menghadapi gelombang kritik dari kelompok Islam Modernis tersebut. Anehnya, kiai-kiai yang sowan ini tidak berani langsung menemui Syaikhona Kholil. Akan tetapi, mereka sowan melalui wasilah (perantara) Kiai Muntaha.
Ketika Kiai Muntaha hendak menyampaikan keluhan para kiai yang datang, Syaikhona Kholil sudah mengetahui maksud dan keinginan mereka terlebih dahulu. Sebelum Kiai Muntaha menemui Syaikhona Kholil, Syaikhona Kholil telah memanggil murid beliau yang bernama Hasib. “Hasib, kamu sini. Sampaikan kepada Muntaha bahwa ini sudah ada keterangannya di dalam al-Qur’an,” tegas Syaikhona Kholil.
Lalu, Syaikhona Kholil membacakan dua ayat dari surat ash-Shaaf yang artinya:
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya. Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci”(QS. Ash-Shaaf : 8-9)
Kiai Muntaha merasa keheranan, sebab belum mengutarakan pesan yang datangnya dari para kiai yang hendak sowan kepada Syaikhona Kholil, namun beliau telah mengetahui dan menjawabnya terlebih dahulu. Mereka semua puas. Tanpa sepatah kata pun, para kiai yang berjumlah 66 bersalaman dan pamitan kepada Syaikhona Kholil.
Peristiwa demi peristiwa berikutnya pun terjadi termasuk isyarat dari Syaikhona Kholil yang disampaikan melalui KH. As’ad Syamsul Arifin kepada KH. Hasyim Asy’ari yang semakin memantapkan KH. Hasyim Asy’ari beserta para ulama lainnya untuk mendirikan organisasi keagamaan, yang nantinya akan menjelma menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia, yakni Nahdlatul Ulama.
Ketika Nahdlatul Ulama dideklarasikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M di Jl. Bubutan VI Surabaya, Syaikhona Kholil sudah wafat terlebih dahulu pada 29 Ramadhan 1343 H (1925). Sehingga pada saat itu, ulama dari keluarga Syaikhona Kholil yang ikut menghadiri dan sekaligus ikut merestui berdirinya Nahdlatul Ulama adalah Kiai Muntaha, yang selanjutnya beliau mendapatkan amanah menjadi Mustasyar (penasehat). [Tim Redaksi]
Disarikan dari buku “The Founding Fathers of Nahdlatoel Oelama’”