Tanah air sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negeri tempat kelahiran. Al-Jurjani mendefiniskan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.
Dari definisi ini maka dapat dipahami bahwa tanah air bukan sekadar tempat kelahiran tetapi juga termasuk di dalamnya adalah tempat di mana kita menetap. Dapat dipahami pula bahwa mencintai tanah air adalah berarti mencintai tanah kelahiran dan tempat di mana kita tinggal.
Pada dasarnya setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.
Rasulullah SAW sendiri pernah mengekspresikan kecintaannya kepada Mekkah sebagai tempat kelahirannya. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas ra yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban berikut ini:
Artinya: “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu.” (HR Ibnu Hibban).
Di samping Mekkah, Madinah adalah juga merupakan tanah air Rasulullah SAW. Di situlah beliau menetap serta mengembangkan dakwah Islamnya setelah terusir dari Mekkah. Di Madinah Rasulullah SAW berhasil dengan baik membentuk komunitas Madinah dengan ditandai lahirnya watsiqah madinah atau yang biasa disebut oleh kita dengan nama Piagam Madinah.
Kecintaan Rasulullah SAW terhadap Madinah juga tak terelakkan. Karenanya, ketika pulang dari bepergian, Beliau memandangi dinding Madinah kemudian memacu kendaraannya dengan cepat. Hal ini dilakukan karena kecintaannya kepada Madinah.
Artinya: “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari bepergian, beliau melihat dinding kota Madinah, maka lantas mempercepat ontanya. Jika di atas kendaraan lain (seperti bagal atau kuda, pen) maka beliau menggerak-gerakannya karena kecintaanya kepada Madinah.” (HR Bukhari).
Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika kembali dari bepergian, yaitu memandangi dinding Madinah dan memacu kendaraannya agar cepat sampai di Madinah sebagaimana dituturkan dalam riwayat Anas RA di atas, menurut keterangan dalam kitab Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani menunjukkan atas keutamaan Madinah disyariatkannya cinta tanah air.
Artinya: “Hadits tersebut menunjukan keutamaan Madinah dan disyariatkannya mencintai tanah air serta merindukannya” (Lihat, Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H, juz III, halaman 621).
Mufassir kenamaan sekelas Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H), saat menyitir QS Al-Nisa’ [4]: 66 yang artinya “Andai saja kami wajibkan bagi mereka untuk membunuh diri kalian atau keluar meninggalkan tanah air kalian, tidak akan ada dari mereka yang melakukannya kecuali segelintir orang saja.”