Al-Razi menangkap kesan nasionalisme pada ayat ini. Beliau dalam tafsirnya Mafâtîhal-Ghaib (1981) menyatakan bahwa Allah SWT sengaja mensejajarkan bunuh diri dengan meninggalkan tanah air. Kesan ini ditangkap dan diresapi secara mendalam oleh ulama muda al-Azhar masa kini, Usamah al-Sayyid al-Azharî. Menurutnya, angkat kaki meninggalkan kampung halaman (hijrah) merupakan hal yang sangat berat dilakukan dan butuh kesabaran ekstra. Rasa berat dan sulit ini kadarnya menyamai rasa sakit saat jiwa ini terbunuh. Hal ini menunjukkan hubungan seseorang dan rasa kecintaan terhadap tanah airnya memiliki tempat terdalam di hati. Demikian penjelasannya dalam al-Haqq al-Mubîn fî al-Radd ‘alâ man Talâʻaba bi al-Dîn (2015).
Al-Azharî kemudian memperkuat pendapatnya dengan pandangan Al-Mulâ Ali al-Qarî (w. 1014 H) dalam Mirqâh al-Mafâtîh SyarhMisykâh al-Mashâbîh (2014) bahwa QS. al-Baqarah [2]: 191 yang menyebutkan bahwa cobaan (fitnah) yang dimaksud dalam al-fitnah asyadd Min al-Qatl adalah keluar meninggalkan tanah air sebab sebelumnya disebutkan akhrijûhum min Haitsu Akhrajûkum. Sehingga meninggalkan tanah air merupakan cobaan terberat dalam hidup.
“Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusir kalian (dari kampung halaman kalian) dan cobaan (fitnah) itu lebih berat dari pembunuhan.”
Selain ayat di atas, ada juga ayat yang mengisyaratkan rasa nasionalisme di dalamnya, yakni QS al-Qashash [28]: 85 yang artinya
”Sesungguhnya Dzat Yang menurunkan Al-Quran (serta mewajibkan mengamalkan isinya) pasti mampu mengembalikanmu menuju tempat kembali.”
Redaksi maʻâd yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tempat kembali mempunyai multi tafsir di kalangan mufassirin. Salah satu tafsir menyebutkan yang dimaksud dengan maʻâd adalah kota Mekah. Tafsiran tersebut dicantumkan dalam mayoritas kitab-kitab tafsir. Bahkan ‘gembong’-nya kitab tafsir –yang nota bene menjadi rujukan utama penafsiran para mufassirin- semisal al-Thabarî dan Ibn Katsîr juga menyebutkannya dengan sanad yang bersambung hingga Turjumân al-Qur’an, sahabat Abdullah bin Abbas.
Ismail Haqqî al-Khalwatî al-Istanbûlî (w. 1715) dalam Rûh al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’an (1331 H) menyatakan bahwa ayat di atas mengisyaratkan cinta tanah air salah satu bentuk keimanan (Hubb al-Wathan min al-Îmân). Sebab Nabi SAW sering mengucapkan al-wathan… al-wathan… hingga Allah SWT mewujudkan permintaan dengan memberi janji larâdduka ilâ maʻâd (pasti mengembalikanmu menuju Mekah). Demikianlah gambaran besarnya kecintaan Nabi saw terhadap tanah airnya.
Dari penjelasan singkat di atas maka setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa mencintai tanah air merupakan tabiat dasar manusia, di samping itu juga dianjurkan oleh syara` (agama) dan juga lahir dari bentuk keimanan kita. Karenanya, jika kita mendaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas Muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air sebagian dari iman). Konsekuensi keimanan tersebut, jika ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang berupaya merongrong keutuhan NKRI, maka kita wajib untuk menentangnya sebagai bentuk keimanan kita. [Tim Redaksi]